Berita Terkiniku Blog Kolom Menimbang Pembentukan Tubuh Sawit Nasional
Kolom

Menimbang Pembentukan Tubuh Sawit Nasional

Geliat industri sawit tak lepas dari kontroversi terkait warta lingkungan sampai warta kemanusiaan. Seperti apa kehidupan para buruh perkebunan sawit?
Foto ilustrasi: AP Photo/Binsar Bakkara

Jakarta

Wacana pembentukan Badan Sawit Nasional (BSN) yang berada eksklusif di bawah presiden menjadi tonggak gres dalam upaya pemerintahan Prabowo-Gibran memperbaiki manajemen industri kelapa sawit di Indonesia. Pembentukan BSN disarankan terhadap Kepala Negara Prabowo Subianto oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Langkah ini menjadi krusial mengingat besarnya peran serta sektor sawit untuk ekonomi nasional sekaligus besarnya tantangan dalam mempertahankan keberlanjutan industri ini.

Sebagai produsen penting kelapa sawit, Indonesia dihadapkan pada target-target ambisius buat mengembangkan produktivitas, memperluas konsumsi domestik, dan merencanakan implementasi kebijakan biodiesel B40 pada 2025. Kehadiran BSN diinginkan dapat menangani tantangan tersebut. Pembentukan forum negara ini diproyeksikan mulai menyerupai Malaysian Palm Oil Board (MPOB) yg memiliki kewenangan sarat atas segala problem kelapa sawit.

Indonesia bersamaan telah memiliki Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang diresmikan pada 2015 selaku BLU di bawah naungan Kementerian Keuangan. BSN diproyeksikan mulai menjadi pengembangan dari BPDPKS yg memiliki otoritas yg lebih luas. Namun, pengalaman dari BPDPKS menampilkan bahwa otoritas besar tanpa manajemen yang bagus hanya mulai memperparah masalah.

Kritik atas BPDPKS sering mencuat, utamanya terkait transparansi dalam alokasi dana dan akuntabilitas pelaksanaan program. Kajian Transparency International Indonesia pada 2023 menampilkan bahwa banyak perusahaan sawit di Indonesia memiliki Politically Exposed Persons (PEPs) dalam jajaran direksi atau komisarisnya, meliputi sampai 80 orang di 33 dari 50 perusahaan yang dinilai.

Kehadiran PEPs mengembangkan risiko korupsi dan pertentangan kepentingan, yang dapat merugikan institusi menyerupai BSN kalau tidak diantisipasi dengan baik. Untuk itu, fondasi transparansi yg kuat mesti dibangun sejak awal. Sistem audit yang ketat dan penilaian independen yg sanggup diakses oleh publik menjadi langkah penting gampang-mudahan BSN tetap terpantau dan akuntabel. Tanpa transparansi, BSN mulai berisiko terjebak dalam bundar kepentingan tertentu yg pada hasilnya cuma mulai menghalangi pencapaian target.

Selain itu, penempatan BSN di bawah presiden menampilkan otoritas signifikan, tapi tanpa pengawasan yg kuat, otoritas tersebut akan sukar menciptakan pergantian yg positif. Seperti yang kelihatan pada BPDPKS, pengawasan yg lemah membuka ruang untuk pertentangan kepentingan dan korupsi. Oleh sebab itu, diperlukan keterlibatan forum pengawas independen selaku bentuk check and balance yang esensial. Tanpa pengawasan yang independen, risiko kegagalan BSN mulai terus mengintai, walaupun forum ini berada di bawah pengawasan eksklusif presiden.

Pemilihan pimpinan yg kompeten dan bebas dari afiliasi politik juga menjadi poin penting yang tak bisa diabaikan. PEPs dalam industri sawit kadang dihubungkan dengan koneksi politik yang condong menguntungkan pihak-pihak tertentu, bikin ketidakadilan dalam pengambilan kebijakan yang semestinya berpihak terhadap penduduk luas. Pengalaman BPDPKS menampilkan bahwa ketika proses rekrutmen diwarnai dengan kepentingan politik, manajemen yg bagus menjadi sukar tercapai.

BSN mesti memutuskan bahwa rekrutmennya higienis dari elemen politik dengan menempatkan individu berintegritas dan pengertian mendalam mengenai industri sawit. Tanpa sumber daya insan yg kompeten dan berintegritas, hasrat besar BSN mulai sukar terwujud. Langkah preventif yang lain yg perlu dipraktekkan oleh BSN yakni penyediaan prosedur pengaduan publik yg kondusif dan terlindungi buat whistleblower.

Transparansi International Indonesia mencatat bahwa hanya 1 dari 50 perusahaan sawit yang mencantumkan rincian peran serta politiknya, sementara sisanya tidak menampilkan pemberitahuan tersebut terhadap publik. Dengan menawarkan saluran pengaduan yang efektif dan aman, BSN membuka ruang bagi penduduk bagi berpartisipasi dalam pengawasan, sekaligus menampilkan komitmen bagi menerima kritik dan masukan.

Di samping itu, BSN dilarang menjadi alat kepentingan segelintir perusahaan besar. Proses pengambilan keputusan yang meliputi perspektif para pemangku kepentingan, menyerupai petani kecil, perusahaan kelapa sawit, organisasi penduduk sipil, dan komunitas lokal, yakni hal yang penting. Tanpa keterlibatan multi-stakeholder, kebijakan BSN berisiko cuma menguntungkan pihak-pihak tertentu, sementara kepentingan penduduk luas utamanya para petani sawit justru terabaikan.

Pembentukan BSN yakni langkah yg strategis, tapi besar-kecilnya kewenangan bukanlah jaminan keberhasilan. Keberhasilan BSN hanya sanggup diraih kalau prinsip-prinsip manajemen yang bagus dipraktekkan secara konsisten dan tanpa kompromi. Jika hasilnya sungguh-sungguh dibikin oleh Kepala Negara Prabowo, penduduk dan pemerintah mesti memantau jalannya BSN mudah-mudahan forum ini tak hanya memiliki otoritas, tetapi juga bisa diandalkan bagi menenteng pergantian kasatmata di industri kelapa sawit.

Jika prinsip-prinsip manajemen tidak dilaksanakan dengan benar, BSN mampu saja rampung dengan problem yang lebih besar dari pendahulunya, BPDPKS, dan hasrat besar yg diusung akan sukar terwujud.

Lalu Hendri Bagus peneliti Transparency International Indonesia

Simak juga video: Raja Juli Nilai Transformasi Digital Makara Kunci Penataan Kawasan Sawit

[Gambas:Video 20detik]

badan sawit nasionalbpdpksHoegeng Awards 2025Baca dongeng inspiratif calon polisi contoh di siniSelengkapnya

Exit mobile version