
Jakarta –
Sidang kasus pengelolaan timah terus bergulir, dalam persidangan kemarin, majelis hakim menggali banyak sekali informasi saksi untuk menguak angka kerugian negara Rp 300 triliun yang disangka dari penyimpangan kolaborasi sewa smelter, pembelian bijih timah, dan kerusakan lingkungan.
Auditor pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Suaedi, dihadirkan jaksa dalam sidang prasangka korupsi pengelolaan timah dan bersaksi untuk terdakwa Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah Tbk 2016-2021, Emil Ermindra selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk periode 2016-2020, dan MB Gunawan selaku Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa, Rabu, (13/11/ 2024).
Mengutip detikNews, Auditor pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Suaedi, menerangkan perkiraan kerugian keuangan negara dalam kasus prasangka korupsi pengelolaan timah meraih Rp 300 triliun. Total kerugian itu diperoleh dari penyimpangan pada kolaborasi sewa smelter, pembelian bijih timah, dan kerusakan lingkungan.
Terjadi pembicaraan menawan di saat majelis hakim mendesak Suaedi untuk menerangkan letak kerugian PT Timah.
“Jika PT Timah menambang sendiri, maka ada 2 cost yakni ongkos penggantian lahan dan ongkos penambangan. Dimana letak kerugian negaranya? Kemudian jelaskan variable sehingga ongkos peleburan ditarik kesimpulan kemahalan,” tanya Hakim Alfis Setyawan.
Terhadap pertanyaan hakim tersebut, Suaedi menyimpulkan sudah terjadi kerugian negara dari evaluasi atas BAP yang diperlihatkan penyidik kepadanya.
“Dari informasi saksi dan jago ini merupakan penambangan illegal yang mulia. Sumberdaya alam dikehendaki ijin. Maka kami bekesimpulan bahwa perolehan bijih timah tanpa ijin itu illegal, dan itulah kerugian negara yang Mulia,” terang Suaedi.
Auditor BPKP tersebut juga menerangkan bahwa ia belum pernah mengklarifikasi informasi saksi maupun jago dalam BAP.
Saksi juga mengakui bahwa di saat kunjungan lapangan tidak melaksanakan verifikasi dan penjelasan data.
Penasehat Hukum terdakwa Mochtar Riza Pahlevi, Junaedi Saibih, menyodorkan kekecewaannya.
“Saksi terbukti tidak melakukan SOP selaku audior. Hanya memeriksa daan menyimpulkan menurut BAP yang diperlihatkan penyidik. Demikian pula di saat melaksanakan kunjungan lapangan, tidak melaksanakan verifikasi dan klarifikasi, cuma dating ke lapangan saja,” ujar Junaedi Saibih.
Dalam persidangan itu berulangkali majelis hakim mengingatkan bahwa yang diminta dari penjelasan saksi merupakan soal angka dan cara penghitungan. Terkait fakta illegal dan langkah-langkah melawan aturan sudah disampaikan di persidangan sebelumnya.
Beberapa pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh saksi antara lain terkait perkiraan harga pokok buatan (HPP) di unit peleburan Muntok (Bangka Belitung) dean unit penglogaman di Kundur (Kepri), padahal persidangan ini cuma membahas Bangka Belitung.
Suaedi menerangkan proses perkiraan kerugian keuangan negara Rp 300 triliun tersebut. Dia menyampaikan Kejaksaan Agung RI meminta BPKP melaksanakan perkiraan kerugian keuangan negara dalam kasus ini pada 14 November 2023.
“Akan kami sampaikan secara ringkas, Yang Mulia, ihwal bagaimana proses audit itu kami lakukan. Yang pertama adanya ajakan dari Kejaksaan Agung RI di tanggal 14 November 2023 tentang proteksi perkiraan kerugian keuangan negara dan ajakan informasi ahli. Nah prosesnya, di kami berlaku bahwa setiap ajakan itu tidak serta-merta ditangani eksklusif surat penugasan, ada fasilitas ekspose. Makara yang kedua surat kiprah itu gres kita terbitkan itu 26 Februari 2024,” kata Suaedi.
“Dipersidangan terbukti bahwa angka Rp 271 triliun bukan menurut hasil perkiraan BKPK. Ahli cuma mengadopsi angka yang dijumlah oleh jago lingkungan, dan tanpa mengkonfirmasi dan memverifikasinya,” terang Junaedi.
Dalam persidangan, majelis hakim mempertanyakan BPKP dalam melaksanakan penghitungan kerugian keuangan negara cuma menjumlah pembayaran yang dikeluarkan, sementara usulan atau pemasukan tidak dipertimbangkan.
Selain itu, Hakim juga menekankan adanya fakta bahwa BPKP juga tidak menghasilkan perbandingan efesiensi ongkos apabila PT Timah melaksanakan penambangan dan peleburan sendiri dan melakukan pekerjaan dengan swasta.
Dalam hal menggunakan jago untuk melaksanakan penugasan audit perkiraan kerugian keuangan negara (audit PKKN), maka BPKP lewat penyidik mesti melaksanakan kesepahaman dan komunikasi yang cukup dengan tenaga jago untuk mengurangi kesalahpahaman yang sanggup membuat salah tafsir informasi dari tenaga ahli.
Junaedi mencatat, perilaku itu berkonsekuensi logis apabila jago BPKP tidak pernah melakukan mekanisme atau SOP yang sudah ditetapkan.
“Yang diharuskan dalam anutan internal audit PKKN yakni melaksanakan kesepahaman dan komunikasi yang cukup dengan tenaga jago untuk mengurangi kesalahpahaman yang sanggup membuat salah tafsir hasil pekerjaan atau atau informasi dari tenaga ahli,” paparnya.
Junaedi pun mencurigai laporan hasil audit PKKN yang ditangani auditor BPKP.
“Apakah laporan hasil audit PKKN ini masih sanggup dipertanggungjawabkan validitasnya dan terjamin kesahihannya?,” ucap dia.
Tak cuma itu, tim audit BPKP juga disebut cuma melaksanakan kunjungan ke lapangan, tetapi tidak melaksanakan verifikasi.
Adapun, Hakim mempertanyakan letak kerugian negara yang disebabkan oleh prasangka korupsi pengelolaan timah.
“Jadi dari hasil sidang hari ini, saksi yang dihadirkan JPU tidak kredibel. Karena balasan yang diberikan tidak cocok dengan konteks pertanyaan Hakim ihwal dimana letak kerugian negara,” tutur dia.
Dalam sidang kali ini, Majelis hakim mempertanyakan sistem perkiraan kerugian negara yang cuma didasarkan pada perkiraan pembayaran yang dikeluarkan PT Timah. Sedangkan hasil Penjualan bijih timah selaku pemasukan PT Timah tidak diperhitungkan. Padahal, nilai pemasukan dan pemasukan atau diistilahkan pemulihan kerugian keuangan negara mesti menjadi penghematan kerugian keuangan negara itu sendiri.
Tak cuma itu, Majelis Hakim juga mempertanyakan siapa yang mesti dibebankan atas kerugian yang dimaksud. Adapun, laporan BPKP tidak menyebutkan pembayaran atas kerugian keuangan negara dibebankan terhadap siapa saja.
“Bagaimana dengan penerimaan dari hasil bijih timah dan lain-lain yang sudah keluar dan diterima oleh PT Timah?” Tanya Majelis Hakim.
“Sejak transaksi itu ditangani menggunakan CV-CV boneka terus dokumennya tidak benar dan tidak berhak menambang kemudian menambang terus dibayar maka pembayaran itulah menjadi titik terjadi kerugian negara,” terang Suaedi.
Selain itu majelis hakim mempertanyakan argumentasi BPKP cuma melaksanakan penjelasan secara babat pilih, ada yang diklarifikasi, ada yang tidak, kemudian verifikasi juga tidak ditangani secara tuntas dan mendalam.
Simak juga video: Warga di Bangka Tengah Diusir Karena Setuju Tambang Timah
Leave feedback about this